9.28.2012

Acep Zamzam Noor: Pada Sebuah Kafe

Pada Sebuah Kafe (1)

Apakah kau sedang menyanyi untukku, atau tidak untuk siapa-siapa
Hanya kau sendiri yang tahu. Suaramu terdengar sayup-sayup
Di antara raung gitar dan gemuruh organ. Kulihat ada yang melayang
Seperti gumpalan awan, meliuk-liuk di udara, memasuki ceruk-ceruk sepi
Mengembara dari tiang ke tiang, menyambangi meja demi meja
Hingga ruang pun bergetar. Gelas-gelas berdentingan
Apakah kau sedang menyanyi untukku, atau menyuarakan luka dulu
Apakah sedang menghiburku, atau diam-diam menikam jantungku
Hanya kau sendiri yang tahu. Di atas lantai detik-detik menggenang
Menit-menit mengendap, lalu menguap pelan-pelan, menjadi detak jam
Yang berulang. Kata-kata yang didesiskan, nada-nada yang didesahkan
Seperti berasal dari keabadian. ”Mengapa cinta ini terlarang...” tanyamu
Hanya kau sendiri yang tahu. Hanya waktu yang akan mengerti lagu itu


Pada Sebuah Kafe (2)

Apa yang sedang kulakukan? Seperti biasa aku hanya diam
Memandangmu dari kejauhan sambil membayangkan silhuet senja
Bergerak-gerak di cakrawala. Atau tersenyum mendengar syair demi syair
Yang sebenarnya sederhana namun entah kenapa jadi begitu menggetarkan
Setiap kali kaunyanyikan. Ah, aku menyukai seleramu memilih warna pakaian
Dan ikat pinggang. Kuning, biru, merah, hitam, semuanya sedap dipandang
Apa yang harus kulakukan? Sungguh aku hanya ingin menikmati
Setiap keindahan yang teronggok di pojok-pojok sunyi. Aku sekedar ingin
Melihat semua yang lewat, mencatat semua yang nampak, merekam semua
Yang mengalun lamat-lamat. Kadang kecantikan mendekatkanku pada maut
Warna rambut mengingatkanku pada kefanaan, sedang ikat pinggang itu.
Yang nyalanya berkedipan mengisyaratkanku pada batas ruang dan waktu
”Tuhan, berikan aku hidup satu kali lagi...” kudengar refrein itu berulang-ulang


Pada Sebuah Kafe (3)

Ketika kau mendekat ke mejaku dan melemparkan senyum kecil
Enam jerawat kulihat di wajahmu. Satu di atas alis, dua di dekat hidung
Serta tiga di sekitar rahang, dagu dan bibir yang warnanya merah marun
Tiba-tiba aku merasa sendirian di tengah gurun, di bawah lengkung langit
Dengan enam bintang yang berkedipan, yang jauh dari jangkauan tanganku
Musik menghentak lagi. ”Cinta mati, harus dijaga sampai mati...” teriakmu
Kini aku benar-benar sendirian di tengah gurun. Kulihat kau bergerak ringan
Di antara gumpalan awan, menggeliat di sela keremangan dan kegelapan
Enam jerawat membuat wajahmu semburatkan fajar meski yang nampak
Hanya samar-samar. Ketika gerimis berhamburan aku tak mengaduh
Ketika kilat berlesatan aku tak melenguh. Namun jauh di balik dadaku
Jauh di lubuk kesepian dan kerinduan enam bintang nyaris padam
”Hati-hati menjaga hati...” suaramu terdengar serak dan lamat-lamat


Pada Sebuah Kafe (4)


Ah, aku suka caramu tersenyum, caramu menengok, caramu
Mengangguk, caramu mengibaskan rambut, caramu menggerakkan
Kepala, caramu melangkahkan kaki, juga caramu berjoget ketika dangdut
Terpaksa kaubawakan juga. Kadang senyummu malu-malu, namun tangan
Yang kaukibarkan, bahu yang kaugerakkan, pinggul yang kauputarkan
Membuat dunia yang renta ini bergetar. Membuat semuanya kembali wajar
Ah, ah, aku suka gayamu mengedipkan mata, gayamu memonyongkan bibir
Gayamu menjulurkan lidah, gayamu menggenggam mikrofon, juga gayamu
Menunjuk-nunjuk dada sambil cemberut. Ah, ah, aku suka sepatu kuningmu
Yang tumitnya runcing, yang menarik sebuah garis lengkung pada lekuk betis
Aku suka celana ketatmu yang menjadikan garis tersebut seperti meliuk-liuk
Menyusuri tepi tubuhmu yang tipis. ”Aku bukan wonder woman...” desahmu
Hanya kau yang tahu siapa sebenarnya dirimu. Dunia memang lucu


Pada Sebuah Kafe (5)

Teruslah menyanyi untukku, atau untuk siapapun
Teruslah menyuarakan hatiku, atau hati ngungun siapapun
Sampai gelas-gelas kosong di meja, sampai tak ada lagi bunyi
Di bumi. Sampai tak ada lagi sisa nada, tak ada lagi sampah kata-kata
Yang masih bisa dijeritkan ke udara. Sampai gunung-gunung runtuh
Sampai tujuh lautan menjadi hamparan kebisuan yang utuh
Teruslah menyanyi untukku, atau untuk semua orang
Teruslah menggetarkan dadaku, atau dada rawan semua orang
Tapi lampu-lampu sudah dipadamkan. Tak ada lagi senyum manis itu
Tak ada lagi sorot mata indah itu, tak ada lagi rambut sebahu itu
Tak ada lagi tubuh ramping itu, tak ada lagi betis runcing berisi itu
Tinggal ujung lagu yang gemanya masih bersahutan jauh di selatan
”Aku harus kembali menjadi ibu,” bisikmu sambil melepas semua pakaian


Pada Sebuah Kafe (6)

Sore itu aku minum kopi panas, kafe masih sepi, lampu belum dinyalakan
Sepasang anak muda berpelukan. Terdengar denting dari arah organ
Entah siapa yang mengirimkan kesedihan itu ke mari, sebuah instrumentalia
Yang sudah lama kujauhkan dari telinga. Sore itu aku menghabiskan
Dua bungkus rokok kretek serta tiga cangkir kopi. Kau belum datang juga
Atau kau memang tak pernah datang sore-sore begini
Malam itu aku memesan bir dingin, tiga bungkus rokok kretek kusiapkan
Untuk melawan bosan. Meja-meja masih kosong, musik belum dimainkan
Organ menjadi makhluk yang menyendiri di sudut, anggun sekaligus terasing
Aku ingin menjadi bunyi yang muncul dari kekosongan, yang melenting sepi
Dari ruang ke ruang tak berhuni. Malam itu aku mereguk empat botol bir
Tiga bungkus rokok kretek kuisap sendirian. Kau belum datang juga
Atau kau memang tak pernah datang malam-malam begini


Acep Zamzam Noor adalah penyair dan pelukis kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat.
Kumpulan puisinya yang terbaru, Menjadi Penyair Lagi, meraih Khatulistiwa Literary Award 2006-2007. Sedang kumpulan puisinya yang lain, Jalan Menuju Rumahmu, mendapat SEA Write Award 2005 dari Kerajaan Thailand.


Afrizal Malna: Kesepian di lantai 5 rumah sakit

Lelaki itu menatapku setelah selesai mengucapkan doa. Keningnya seperti mau berkata, apakah aku sedang membuat dusta? Aku menghampirinya, dan mencium bibirnya. Tubuh manusia itu sedih dan menyimpan bangkai masa lalu. Tetapi keningnya mengatakan, bahuku sakit dan bisa merasakan ciuman dari seluruh kesepian.

Aku kembali mencium lelaki itu, seperti jus tomat yang tidak tahu kenapa lelaki itu berdoa dan sekaligus merasa telah berdusta. Aku memeluk lelaki itu di lantai 5 sebuah rumah sakit. Lelaki itu melihat ambulan datang dan menerobos begitu saja ke dalam jantungnya. Dia tidak yakin apakah ambulan itu apakah jantung itu.

Lalu aku melompat dari lantai 5 rumah sakit itu, lalu aku melihat tubuhku melayang, batang-batang rokok berhamburan dari saku bajuku. Aku melihat kesunyian meledak dari seragam seorang suster, lalu aku tidak melihat ketika tiba-tiba aku tidak bisa lagi merasakan waktu: tuhan, jangan tinggalkan kesepian berdiri sendiri di lantai 5 sebuah rumah sakit. Lelaki itu tidak tahu apakah kematian itu sebuah dusta tentang waktu dan tentang cinta.

Lelaki itu kembali menatapku setelah selesai mengucapkan kesunyian, dan membuat ladang bintang-bintang di kaca jendela rumah sakit. Ciumannya seperti berkata, kesunyian itu, tidak pernah berdusta kepadamu. Aku lihat wajah lelaki itu, seperti selimut yang berbau obat-obatan. Perangkap tikus di bawah bantal. Dan kau tahu, akulah tahanan dari luka-lukamu

9.27.2012

Alamat Email Media


1. Republika
sekretariat@republika.co.id
2. Kompas
opini@kompas.com, opini@kompas.co.id
3. Koran Tempo
ktminggu@tempo.co.id
4. Jawa Pos
sastra@jawapos.co.id
Jawa Pos menerima karya-karya pembaca berupa cerpen dan puisi atau sajak. Cerpen bertema bebas dengan gaya penceritaan bebas pula. Panjang cerpen adalah sekitar 10 ribu karakter.
5. Suara Merdeka
swarasastra@gmail.com
Kirimkan cerpen, puisi, esai sastra, biodata, dan foto close up Anda.
6. Suara Pembaruan
koransp@suarapembaruan.com
7. Suara Karya
amiherman@yahoo.com
8. Jurnal Nasional
tamba@jurnas.com
9. Jurnal Bogor
donyph@jurnas.com
10. Seputar Indonesia
donatus@seputar-indonesia.com
11. Pikiran Rakyat
khazanah@pikiran-rakyat.com
12. Kedaulatan Rakyat
redaksi@kr.co.id
13. Sinar Harapan
redaksi@sinarharapan.co.id
14. Tribun Jabar
cerpen@tribunjabar.co.id
15. The Jakarta Post (English)
editorial@thejakartapost.com
16. Surabaya Post
redaksi@surabayapost.info
17. Lampung Post
lampostminggu@yahoo.com
18. Bangka Pos
redaksi@bangkapos.co.id
19. Riau Pos
redaksi@riauposonline.com, habeka33@yahoo.com
20. Sumut Pos
redaksi@hariansumutpos.com
21. Global Medan
tejapurnama@yahoo.com
22.
Berita Pagi

huberitapagi@yahoo.com
23. Padang Ekspres
redaksi@padangekspres.co.id
24. Jurnal Cerpen
jurnalcerpen@yahoo.com
25. Majalah Horison
horisoncerpen@centrin.net.id, horisonpuisi@centrin.net.id,  horisonesai@centrin.net.id dan kakilangit@centrin.net.id (khusus memuat karya-karya pelajar setingkat SMA)
26. Majalah Sabili
elkasabili@yahoo.co.id
27. Majalah Ummi
kru_ummi@yahoo.com
28. Majalah Femina
kontak@femina-online.com, kontak@femina.co.id
29. Majalah Story
story_magazine@yahoo.com
30. Tabloid Nova
nova@gramedia-majalah.com
.
CONTOH PENGANTAR PENGIRIMAN

[1] Ada contoh bagus dari almarhum Kuntowijoyo, yang dicuplik pengasuh Horison pada cover majalah itu, Mei 2005.
Assalamu’alaikum w.w.

Redaksi Horison Yth.
Bersama ini saya kirimkan naskah “Maklumat Sastra Profetik”, meskipun terlalu panjang untuk format majalah. Karena itu, mohon jangan merasa di-faith accompli dan dipaksakan pemuatannya. Anggap saja kiriman ini sekadar sebagai pemberitahuan bahwa saya sudah menuliskannya.
Semua itu saya kerjakan, karena saya terlanjur dikabarkan—terutama lewat Horison—sebagai penganjur Sastra Profetik. Dan saya merasa “berdosa” kalau tidak saya kirim ke Horison terlebih dahulu. Sekali lagi, jangan segan-segan untuk TIDAK MEMUAT.

Mohon berita lewat telepon 0274-881-xxx, terutama selepas pukul 8:00 malam.
Wassalamu’alaikum w.w.
Yogyakarta, 1 Februari 2005
Kuntowijoyo

[2] Ahmadun Yosi Herfanda, (mantan) Redaktur Sastra Republika, pernah menulis begini,
“Berhubung ada perubahan disain dan ukuran huruf untuk rubrik Sastra, maka para penyumbang naskah harap memperhatikan hal-hal sbb.

[a] Panjang naskah Cerpen dan Esei antara 7-8000 karakter (with space), diketik dengan program MSWord, dan tiap judul naskah dalam satu file.

[b] Untuk kolom Oase diutamakan sajak-sajak pendek, panjang tiap sajak tidak lebih dari satu layar MSWord (2-5 bait pendek).

[c] Dalam sekali kirim minimal enam judul sajak, dan dikemas dalam satu file, disertai biografi singkat dan foto diri close up bergaya santai.

[d] Semua naskah harus dikirim melalui email dengan sistem attachments ke sekretariat@republika.co.id ditujukan ke Redaktur Sastra, dan lampiri nomor rekening bank untuk pengiriman honor.

[e] Naskah-naskah yang tidak memenuhi prosedur di atas tidak akan diperhatikan. Terima kasih.


 dari : http://lakonhidup.wordpress.com/redaksi/

Beberapa kalimat pendek yang barangkali bukan sajak #2

Belakangan ini, saya gemar membikin kalimat-kalimat singkat di twitter. Tapi apakah kalimat-kalimat di bawah ini pantas disebut sajak? Tapi apa pun itu, saya akan tetap menyebutnya sebagai proses agar bisa berdiri tegak di puncak sajak.
  1. Keindahan sebuah ciuman, tergantung bagaimana lidahmu melidahkanku.
  2. Jika dengan ciuman kesedihanmu tidak berkurang, manalah mungkin kusebut engkau sebuah kebahagiaan.
  3. Cinta sering tak tepat waktu. Dan airmata, bagi kita bukanlah hal baru.
  4. Ketika maut memelukmu, kebenaran telah menunggumu, di sorga.
  5. Kita persis sepasang penyangkal ulung. Tapi sebenarnya kita adalah batu; saling menunggu, siapa lebih dulu menjadi palu.
  6. Menepilah cinta, menyepilah di dadaku. Kita biarkan kesedihan membikin airmata, memaknai kejatuhannya.
  7. Jika ciuman semata menyesatkan, lindungi aku dari lidah yang memabukkan.
  8. Tuhan, nikmatkan aku dengan satu ciuman.
  9. Dalam sajak yang hakiki, metafora memilih jadi api: dihangatkannya kata-kata dengan bismillah.
  10. Bahkan dalam sajak seorang penyair; kata-kata menyerupai kelembutan dzikir -- asma Allah tergetar di sudut bibir.
  11. Airmata adalah suara, nafas lain dari doa yang melata ke sidratul muntaha.
  12. Cinta menghalalkan segala cara. Sajak mengekalkannya dengan segenap kata.
  13. Memilikimu, seperti mengucap sebuah kata mustahil. Sebab telingamu tak berani mendengar. Dan kata-kata raib dari lidah.

9.11.2012

Sajak Marhalim Zaini: Akulah Penyamun Sirih Besar


Akulah Penyamun Sirih Besar

: episode engku puteri

1.
(jampi sirih merah serapah
ia sepah ke tanah ulayah
ini marwah ini kopiah
ayo berjogetlah!)
syahdan
kau tergayut di dahan hutan
aku menikam bulan dalam badan
ini malam kita bersemandian
anak bujang anak perawan
tak takut disebat rotan
andai dalam rimba
pecah tempurung sekampung
santannya untuk siapa
dikau mengeram saja
daku pejamkan mata
orangtua merah muka
mengajilah, nak, mengajilah!
alif-ya-wau
mengeja rajah langit
di punggung sangit
orang-orang pulau
bagai setampun pasir
mengalir ke hilir
ke ujung dayung
riwayat sebulir air
pahamkah ia
lidah kita
buta kata
kaku kayu
disekat suku
terkutukkah kita
jikalau maung melayu
di sarungku di kerudungmu
tak terbaca hantu waktu
jadi gelang tak berlengan
jadi cincin tak berjari

2.
(jampi di tanah merah
jadi arwah ulayah
bismillah, puah!)
malam jumat keramat
tongkang john bull merapat
suara tetawak bertinggam
memekak berdentum-dentam
kau dengar, puan
yang tumpah dari lepuh
adalah getah peluh
yang disumpah dari keluh
adalah dayung dan sauh
assalamualaikum raja jakfar
apa kabar tuan farquhar
akulah penyamun sirih besar
tamu yang bertandang itu
menjeling regalia di matamu
emas logam atau batu-batu
saling memukat cemburu
aku lalu melipat traktat
menolak takluk pada adat
pada riwayat surat-surat
eloknya tak di tangga
berjenjang naik ke belanda
hingga tak kena pukau
dikau riau budak galau
maka kau tak kupuja
atau usir saja ke melaka
jadi opsir bendera tua
berjanjilah untuk tak merompak
berjanjilah untuk tak memperbudak
lima puluh ribu ringgit spanyol, puan
harga masa lalu harga kopiah tengku
memilih sekutu atau memecah kufu
adalah tuah badan orang hulu
tak berumah di tanah
di air pun jadi
tak di laut terhanyut
jadi angin dalam diri

3.
(wahai, di mana marwah kopiah
aduhai, di mana ludah disepah!)
aku dan puisiku
adalah tukang samun
segala golek gelantang
di laman dan di ladang
habis dikebat diregang
jadi manikam kata-kata
jadi ayat-ayat mantera
maka sebagai sungai jantan
ia berkayuh ke gelombang
tak bermalu berdiam di tepian
kau dan tubuhmu
adalah bandar bangsawan
segala pedang berhulu panjang
berperang berebut perawan
di tiang kerajaan
di liang kematian
maka sebagai janda sultan
kau berenang ke pulau biram
tak bermalu berdiam di peraduan
alangkah cuai
bertikai tentang mahligai
tentang hujan renyai
yang lesap bersepai
di gaung malam
di ujung jam
di setiap tikam
di ruam ranjang
adalah demam bulan naik
ke kemuncak bumbung
tegak alif di selembayung
bagai tak di bumi kau berayun
bagai tak di sepi aku bergulung
siapakah kita di antara mereka
hamba ataukah paduka raja
tak bersenjata tak bertakhta
dibuang jauh bagai perdurhaka
maka bismillah, puah!
jadilah cinta tanpa sejarah
maka bismillah, puah!
jadilah sejarah tanpa cinta

4.
(tanah siapa tak berkopiah, tuan
tanahku merah tak bermarwah, puan)
dan terbakarlah istana
jerebu terbang ke batavia
nan terpisah dilambai jua
nun di tanjung jejak dilupa
di sebalik payung pusaka
kau aku mengungkai cahaya
sisa sebuah pagi pucat lesi
yang terantuk patah di hati
di tungkai kaki sebuah hari
duh, di rumpun pandan itu
orang singapura bawa alu
ia cemburu kita bercumbu
tak pakai celana baju kubu
duh, di rimbun semak itu
orang inggris bawa peluru
ia cemburu kita memburu
tak pakai mesiu masa lalu
sebab telah tersengat jantung
oleh madu kelopak mendung
di rahim hujan dan beliung
rawa gemburmu mengandung
kini bersiaplah kuntum jadi
berjalin bersusun anak api
meriap menjalar akar gelar
ke batang kekar dahan besar
ke rambut hijau hutan ular
dikau mabuk bermandi daun
daku menari tingkahi pantun
sambutlah segantang asap ini
secupak syair perang johor ini
anak-anak arang akan terbang
dari putih pedih mata kumbang
hinggap di pucuk batang sialang
jadi mambang jadi jembalang
maka inilah saat untuk tersesat
melesak ke hatimu ke lukahmu
menjala telur ikan puakamu
mencecap asam asin peluhmu
benih negeri hikayat baru
hikayat negeri batu-batu

5.
(berjogetlah di tanah merah ulayah
berjogetlah seolah sepahmu bermarwah)
sesampainya
di laman bermain
india dan cina pula
ngajak kawin
di daun tingkap
kebayamu tersingkap
bau lepat pulut bersantan
pun meruap
siapa yang tak mencium
pedasnya rempah
lidahmu tak dapat kulum
sedapnya tua
laut tak tidur
saat kau menyisir pasir
aku jadi angin
di debur yang mendesir
maka berdiamlah
di lipatan kitab tuan haji
pada sesobek halaman
yang tak berkanji
kita bersua di sana
pada pangkal ruas ayat
antara tuan-tuan terhormat
yang nyelinap dalam gelap
dalam lesung kayu
orang kampung
dalam setangkup nyiru
orang tanjung
wahai, aku ini penyamun
mereka itu lanun
di ujung daun sirih besar
kami saling menyugi damar
maka jangan padamkan
api nyanyi panjang
yang menjerang perang
di atas tumang
sebab tak satu dua
musuh terpiuh jatuh
tak pula satu dua
lawan ditawan pedang
sebab ini bukan
darah sultan
tapi ini antan
dari tuhan
mengajilah, nak, mengajilah
berjogetlah, mak, berjogetah
dan kita bertepuk tangan
seperti menepuk kompang
menepuk bagai tak di bunyi
akhir dari sunyi
bagai tak berpada-pada
bertingkah tak berhingga
birahi mengucap alif-ba-ta
mula dari segala kata
wahai, aku ini penyamun
mereka itu lanun
di ujung daun sirih besar
kami saling menyugi damar
maka di petang megang
di lubang ladang
tumbuk tampilah diri
tumbuk jampilah janji
kita mencari matahari
di puncak bukit betina
di tengah kota tegak takhta
biar mereka pandang serong
ke muka jua tunjuk kan tiba
andai tak sampai ke tamat
hikayat tak selamat ke barat
ke setampun garis tangan
retak jiwa ditampungkan jua
bahwa sepahmu merah nyala
bismillah disemah ke tanah
tak jua dapat kaudekap
nubuat gendang nobat
sebab ini kitab
tak bertubuh
tak berumah
tak bertanah
assalamualaikum raja jakfar
apa kabar tuan farquhar
akulah penyamun sirih besar


kampung asap, 2008

Marhalim Zaini, lahir di Teluk Pambang Bengkalis, Riau, 15 Januari 1976. Ia berkhidmat di Akademi Kesenian Melayu Riau sambil menggerakkan Komunitas Paragraf. Buku puisinya yang telah terbit adalah Segantang Bintang Sepasang Bulan dan Langgam Negeri Puisi. Kini ia sedang mempersiapkan buku puisinya yang terbaru, Jangan Kutuk Aku Jadi Melayu.

6.12.2012

Beberapa kalimat pendek yang barangkali bukan sajak

1.
kenangan seperti kawan lama: rokok dan secangkir kopi, misalnya.
cinta yang menyisakan pahit di hisapan terakhir sebelum abu

2.
kenangan adalah sorga bagi mereka yang kehilangan.

3.
mari, kita nyanyikan lagu kegembiraan, sayang.
lalu kita pastikan duka menyerah pada ingatan
yang tabah membangun jembatan

4.
bahkan sunyi pun tak pernah peduli,
kenapa bayang-bayang berubah bentuk
jadi anak-anak puisi yang gagal meriangkan diri.

5.
barangkali, cuma secangkir kopi yang bisa
melidahkan basa-basi. dengan senang hati,
cinta datang dan pergi.

6.
di matamu: ada jutaan kunang-kunang mencari punggung;
aku hanya sunyi puisi, di atas panggung meminjam matamu.

7.
Semenjak mataku tertuju padamu, aku jadi tahu,
cinta bukan tentang dua bola mata yang terpejam.

8.
segala kecemasanku, kekasih, adalah jendela waktu yang kubuka;
membiarkanmu masuk dengan cara yang tak kuduga.

9.
Di tanganku, ada asa kau titipkan; semacam meminta kekal bahagia.
Padahal, kedua mataku sudah lama membinar pinta

10.
bahkan jemariku masih menari, Puan.
menulis-lukis engkau tiap pagi--saban malam,
meski kenyataan berdiri begitu mengharukan.

11.
Rindu itu, Kekasih, bahasa yang hanya dimengerti oleh sunyi.
Di tubuhku, huruf-huruf berkerumun, menyamarkan detak jantung.

12.
tiba-tiba ada yg raib dari matamu; ciuman selembut satin,
bisik kecil penunggang musim seolah menjelma makam dalam sajakmu.

13.
aku menafsir matamu penuh iba, di dalamnya,
hujan melebat keasingan bahasa, tak ada tanda baca -- linang sepi semata.

14.
sesekali, bertanyalah kepada batu, kenapa ia begitu keras diam dan menunggu,
sebelum tangan kecil melemparkan ke lautan

15.
sesekali, bertanyalah kepada batu, kenapa ia begitu keras diam dan menunggu,
sebelum hujan mengikis habis kesunyian

16.
sejak mataku menguasai seluruh kesedihan,
waktu tidak ubahnya rombongan pengantar jenazah
;menguburkan kepedihan yang sudah-sudah

17.
Dengan sajak, aku menyentuhmu, rindu menjadi bahasa yang kupakai
ketika cinta tak lagi sampai