Pada Sebuah Kafe (1)
Apakah kau sedang menyanyi untukku, atau tidak untuk siapa-siapa
Hanya kau sendiri yang tahu. Suaramu terdengar sayup-sayup
Di antara raung gitar dan gemuruh organ. Kulihat ada yang melayang
Seperti gumpalan awan, meliuk-liuk di udara, memasuki ceruk-ceruk sepi
Mengembara dari tiang ke tiang, menyambangi meja demi meja
Hingga ruang pun bergetar. Gelas-gelas berdentingan
Apakah kau sedang menyanyi untukku, atau menyuarakan luka dulu
Apakah sedang menghiburku, atau diam-diam menikam jantungku
Hanya kau sendiri yang tahu. Di atas lantai detik-detik menggenang
Menit-menit mengendap, lalu menguap pelan-pelan, menjadi detak jam
Yang berulang. Kata-kata yang didesiskan, nada-nada yang didesahkan
Seperti berasal dari keabadian. ”Mengapa cinta ini terlarang...” tanyamu
Hanya kau sendiri yang tahu. Hanya waktu yang akan mengerti lagu itu
Pada Sebuah Kafe (2)
Apa yang sedang kulakukan? Seperti biasa aku hanya diam
Memandangmu dari kejauhan sambil membayangkan silhuet senja
Bergerak-gerak di cakrawala. Atau tersenyum mendengar syair demi syair
Yang sebenarnya sederhana namun entah kenapa jadi begitu menggetarkan
Setiap kali kaunyanyikan. Ah, aku menyukai seleramu memilih warna pakaian
Dan ikat pinggang. Kuning, biru, merah, hitam, semuanya sedap dipandang
Apa yang harus kulakukan? Sungguh aku hanya ingin menikmati
Setiap keindahan yang teronggok di pojok-pojok sunyi. Aku sekedar ingin
Melihat semua yang lewat, mencatat semua yang nampak, merekam semua
Yang mengalun lamat-lamat. Kadang kecantikan mendekatkanku pada maut
Warna rambut mengingatkanku pada kefanaan, sedang ikat pinggang itu.
Yang nyalanya berkedipan mengisyaratkanku pada batas ruang dan waktu
”Tuhan, berikan aku hidup satu kali lagi...” kudengar refrein itu berulang-ulang
Pada Sebuah Kafe (3)
Ketika kau mendekat ke mejaku dan melemparkan senyum kecil
Enam jerawat kulihat di wajahmu. Satu di atas alis, dua di dekat hidung
Serta tiga di sekitar rahang, dagu dan bibir yang warnanya merah marun
Tiba-tiba aku merasa sendirian di tengah gurun, di bawah lengkung langit
Dengan enam bintang yang berkedipan, yang jauh dari jangkauan tanganku
Musik menghentak lagi. ”Cinta mati, harus dijaga sampai mati...” teriakmu
Kini aku benar-benar sendirian di tengah gurun. Kulihat kau bergerak ringan
Di antara gumpalan awan, menggeliat di sela keremangan dan kegelapan
Enam jerawat membuat wajahmu semburatkan fajar meski yang nampak
Hanya samar-samar. Ketika gerimis berhamburan aku tak mengaduh
Ketika kilat berlesatan aku tak melenguh. Namun jauh di balik dadaku
Jauh di lubuk kesepian dan kerinduan enam bintang nyaris padam
”Hati-hati menjaga hati...” suaramu terdengar serak dan lamat-lamat
Pada Sebuah Kafe (4)
Ah, aku suka caramu tersenyum, caramu menengok, caramu
Mengangguk, caramu mengibaskan rambut, caramu menggerakkan
Kepala, caramu melangkahkan kaki, juga caramu berjoget ketika dangdut
Terpaksa kaubawakan juga. Kadang senyummu malu-malu, namun tangan
Yang kaukibarkan, bahu yang kaugerakkan, pinggul yang kauputarkan
Membuat dunia yang renta ini bergetar. Membuat semuanya kembali wajar
Ah, ah, aku suka gayamu mengedipkan mata, gayamu memonyongkan bibir
Gayamu menjulurkan lidah, gayamu menggenggam mikrofon, juga gayamu
Menunjuk-nunjuk dada sambil cemberut. Ah, ah, aku suka sepatu kuningmu
Yang tumitnya runcing, yang menarik sebuah garis lengkung pada lekuk betis
Aku suka celana ketatmu yang menjadikan garis tersebut seperti meliuk-liuk
Menyusuri tepi tubuhmu yang tipis. ”Aku bukan wonder woman...” desahmu
Hanya kau yang tahu siapa sebenarnya dirimu. Dunia memang lucu
Pada Sebuah Kafe (5)
Teruslah menyanyi untukku, atau untuk siapapun
Teruslah menyuarakan hatiku, atau hati ngungun siapapun
Sampai gelas-gelas kosong di meja, sampai tak ada lagi bunyi
Di bumi. Sampai tak ada lagi sisa nada, tak ada lagi sampah kata-kata
Yang masih bisa dijeritkan ke udara. Sampai gunung-gunung runtuh
Sampai tujuh lautan menjadi hamparan kebisuan yang utuh
Teruslah menyanyi untukku, atau untuk semua orang
Teruslah menggetarkan dadaku, atau dada rawan semua orang
Tapi lampu-lampu sudah dipadamkan. Tak ada lagi senyum manis itu
Tak ada lagi sorot mata indah itu, tak ada lagi rambut sebahu itu
Tak ada lagi tubuh ramping itu, tak ada lagi betis runcing berisi itu
Tinggal ujung lagu yang gemanya masih bersahutan jauh di selatan
”Aku harus kembali menjadi ibu,” bisikmu sambil melepas semua pakaian
Pada Sebuah Kafe (6)
Sore itu aku minum kopi panas, kafe masih sepi, lampu belum dinyalakan
Sepasang anak muda berpelukan. Terdengar denting dari arah organ
Entah siapa yang mengirimkan kesedihan itu ke mari, sebuah instrumentalia
Yang sudah lama kujauhkan dari telinga. Sore itu aku menghabiskan
Dua bungkus rokok kretek serta tiga cangkir kopi. Kau belum datang juga
Atau kau memang tak pernah datang sore-sore begini
Malam itu aku memesan bir dingin, tiga bungkus rokok kretek kusiapkan
Untuk melawan bosan. Meja-meja masih kosong, musik belum dimainkan
Organ menjadi makhluk yang menyendiri di sudut, anggun sekaligus terasing
Aku ingin menjadi bunyi yang muncul dari kekosongan, yang melenting sepi
Dari ruang ke ruang tak berhuni. Malam itu aku mereguk empat botol bir
Tiga bungkus rokok kretek kuisap sendirian. Kau belum datang juga
Atau kau memang tak pernah datang malam-malam begini
Acep Zamzam Noor adalah penyair dan pelukis kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat.
Kumpulan puisinya yang terbaru, Menjadi Penyair Lagi, meraih Khatulistiwa Literary Award 2006-2007. Sedang kumpulan puisinya yang lain, Jalan Menuju Rumahmu, mendapat SEA Write Award 2005 dari Kerajaan Thailand.
Apakah kau sedang menyanyi untukku, atau tidak untuk siapa-siapa
Hanya kau sendiri yang tahu. Suaramu terdengar sayup-sayup
Di antara raung gitar dan gemuruh organ. Kulihat ada yang melayang
Seperti gumpalan awan, meliuk-liuk di udara, memasuki ceruk-ceruk sepi
Mengembara dari tiang ke tiang, menyambangi meja demi meja
Hingga ruang pun bergetar. Gelas-gelas berdentingan
Apakah kau sedang menyanyi untukku, atau menyuarakan luka dulu
Apakah sedang menghiburku, atau diam-diam menikam jantungku
Hanya kau sendiri yang tahu. Di atas lantai detik-detik menggenang
Menit-menit mengendap, lalu menguap pelan-pelan, menjadi detak jam
Yang berulang. Kata-kata yang didesiskan, nada-nada yang didesahkan
Seperti berasal dari keabadian. ”Mengapa cinta ini terlarang...” tanyamu
Hanya kau sendiri yang tahu. Hanya waktu yang akan mengerti lagu itu
Pada Sebuah Kafe (2)
Apa yang sedang kulakukan? Seperti biasa aku hanya diam
Memandangmu dari kejauhan sambil membayangkan silhuet senja
Bergerak-gerak di cakrawala. Atau tersenyum mendengar syair demi syair
Yang sebenarnya sederhana namun entah kenapa jadi begitu menggetarkan
Setiap kali kaunyanyikan. Ah, aku menyukai seleramu memilih warna pakaian
Dan ikat pinggang. Kuning, biru, merah, hitam, semuanya sedap dipandang
Apa yang harus kulakukan? Sungguh aku hanya ingin menikmati
Setiap keindahan yang teronggok di pojok-pojok sunyi. Aku sekedar ingin
Melihat semua yang lewat, mencatat semua yang nampak, merekam semua
Yang mengalun lamat-lamat. Kadang kecantikan mendekatkanku pada maut
Warna rambut mengingatkanku pada kefanaan, sedang ikat pinggang itu.
Yang nyalanya berkedipan mengisyaratkanku pada batas ruang dan waktu
”Tuhan, berikan aku hidup satu kali lagi...” kudengar refrein itu berulang-ulang
Pada Sebuah Kafe (3)
Ketika kau mendekat ke mejaku dan melemparkan senyum kecil
Enam jerawat kulihat di wajahmu. Satu di atas alis, dua di dekat hidung
Serta tiga di sekitar rahang, dagu dan bibir yang warnanya merah marun
Tiba-tiba aku merasa sendirian di tengah gurun, di bawah lengkung langit
Dengan enam bintang yang berkedipan, yang jauh dari jangkauan tanganku
Musik menghentak lagi. ”Cinta mati, harus dijaga sampai mati...” teriakmu
Kini aku benar-benar sendirian di tengah gurun. Kulihat kau bergerak ringan
Di antara gumpalan awan, menggeliat di sela keremangan dan kegelapan
Enam jerawat membuat wajahmu semburatkan fajar meski yang nampak
Hanya samar-samar. Ketika gerimis berhamburan aku tak mengaduh
Ketika kilat berlesatan aku tak melenguh. Namun jauh di balik dadaku
Jauh di lubuk kesepian dan kerinduan enam bintang nyaris padam
”Hati-hati menjaga hati...” suaramu terdengar serak dan lamat-lamat
Pada Sebuah Kafe (4)
Ah, aku suka caramu tersenyum, caramu menengok, caramu
Mengangguk, caramu mengibaskan rambut, caramu menggerakkan
Kepala, caramu melangkahkan kaki, juga caramu berjoget ketika dangdut
Terpaksa kaubawakan juga. Kadang senyummu malu-malu, namun tangan
Yang kaukibarkan, bahu yang kaugerakkan, pinggul yang kauputarkan
Membuat dunia yang renta ini bergetar. Membuat semuanya kembali wajar
Ah, ah, aku suka gayamu mengedipkan mata, gayamu memonyongkan bibir
Gayamu menjulurkan lidah, gayamu menggenggam mikrofon, juga gayamu
Menunjuk-nunjuk dada sambil cemberut. Ah, ah, aku suka sepatu kuningmu
Yang tumitnya runcing, yang menarik sebuah garis lengkung pada lekuk betis
Aku suka celana ketatmu yang menjadikan garis tersebut seperti meliuk-liuk
Menyusuri tepi tubuhmu yang tipis. ”Aku bukan wonder woman...” desahmu
Hanya kau yang tahu siapa sebenarnya dirimu. Dunia memang lucu
Pada Sebuah Kafe (5)
Teruslah menyanyi untukku, atau untuk siapapun
Teruslah menyuarakan hatiku, atau hati ngungun siapapun
Sampai gelas-gelas kosong di meja, sampai tak ada lagi bunyi
Di bumi. Sampai tak ada lagi sisa nada, tak ada lagi sampah kata-kata
Yang masih bisa dijeritkan ke udara. Sampai gunung-gunung runtuh
Sampai tujuh lautan menjadi hamparan kebisuan yang utuh
Teruslah menyanyi untukku, atau untuk semua orang
Teruslah menggetarkan dadaku, atau dada rawan semua orang
Tapi lampu-lampu sudah dipadamkan. Tak ada lagi senyum manis itu
Tak ada lagi sorot mata indah itu, tak ada lagi rambut sebahu itu
Tak ada lagi tubuh ramping itu, tak ada lagi betis runcing berisi itu
Tinggal ujung lagu yang gemanya masih bersahutan jauh di selatan
”Aku harus kembali menjadi ibu,” bisikmu sambil melepas semua pakaian
Pada Sebuah Kafe (6)
Sore itu aku minum kopi panas, kafe masih sepi, lampu belum dinyalakan
Sepasang anak muda berpelukan. Terdengar denting dari arah organ
Entah siapa yang mengirimkan kesedihan itu ke mari, sebuah instrumentalia
Yang sudah lama kujauhkan dari telinga. Sore itu aku menghabiskan
Dua bungkus rokok kretek serta tiga cangkir kopi. Kau belum datang juga
Atau kau memang tak pernah datang sore-sore begini
Malam itu aku memesan bir dingin, tiga bungkus rokok kretek kusiapkan
Untuk melawan bosan. Meja-meja masih kosong, musik belum dimainkan
Organ menjadi makhluk yang menyendiri di sudut, anggun sekaligus terasing
Aku ingin menjadi bunyi yang muncul dari kekosongan, yang melenting sepi
Dari ruang ke ruang tak berhuni. Malam itu aku mereguk empat botol bir
Tiga bungkus rokok kretek kuisap sendirian. Kau belum datang juga
Atau kau memang tak pernah datang malam-malam begini
Acep Zamzam Noor adalah penyair dan pelukis kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat.
Kumpulan puisinya yang terbaru, Menjadi Penyair Lagi, meraih Khatulistiwa Literary Award 2006-2007. Sedang kumpulan puisinya yang lain, Jalan Menuju Rumahmu, mendapat SEA Write Award 2005 dari Kerajaan Thailand.